Thursday, August 30, 2007

Kaidah Fiqh

RINGKASAN KAIDAH FIQH DALAM ISLAM


KAIDAH PERTAMA

Niat itu adalah syarat bagi semua amalan dalam ibadah dengan niat akan diketahui baik & buruknya amalan.

Beberapa dalil antara lain :
Dan tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus ( QS Al Bayyinah : 5 )

Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.
Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik. ( QS Al Isra’: 18-19 )

Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (QS An Nisa: 114 )

Dari Amirul Mu’minin [Umar bin Khattab], Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang).

KAIDAH KEDUA

Agama ini dibangun untuk kebaikan dan maslahat dalam penetapan syariatnya dan untuk menolak kerusakan.

Beberapa dalil antara lain :
Dan tidaklah kami mengutusmu ( ya muhammad ) kecuali sebagai rahmat untuk semesta alam ( QS Al Anbiya: 107 )

Pada hari ini telah aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah kami cukupkan nikmatKU dan telah aku ridahi islam sebagai agama kalian ( QS Al Maidah : 3 )

KAIDAH KETIGA

Jika dalam suatu masalah bertabarakan antara manfaat satu dengan yang lainnya maka di dahulukan & diambil manfaat yang paling besar / tinggi

Beberapa dalil antara lain :
…sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya… ( QS Az Zumar : 17-18)

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu… ( QS Az Zumar : 55)

KAIDAH KEEMPAT

Jika bertabrakan antara mudharat satu dengan yang lainnya maka diambil mudharat yang paling kecil dan ringan [menolak mudharat lebih di utamkan dari pada mengambil faedah; jika kadar mudharat dan manfaatnya sama maka kita cegah ( untuk mengambil manfaat ) demi menolak mudharat ( bahaya )].

Beberapa dalil antara lain :
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( QS Al Baqarah : 173 )

KAIDAH KELIMA

Dan termasuk qaidah syari’ah adalah mudah dalam setiap perkara sebagai ganti dari kesulitan ( kesusahan )

KAIDAH KEENAM

Tidak menjadi kewajiban jika tidak mampu mengerjakan dan tidak ada keharaman dalam keadaan darurat ( bahaya )

Beberapa dalil antara lain :
Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya ( QS Al Baqarah : 173 )

Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu membutuhkanya ( QS Al An’am :119 )

KAIDAH KETUJUH

Setiap hal yang dilarang itu dibolehkan jika dalam kondisi yang darurat, tetapi sesuai dengan kadar yang dibolehkan saja untuk menghilangkan darurat itu [kondisi bahaya tidak menghalalkan ( membatalkan ) hak orang lain]

Beberapa dalil antara lain :
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. ( QS Al Baqarah : 173 )

KAIDAH KEDEPALAN

Dan dikembalikan hukum itu kepada yang diyakini dan keraguan tidaklah membatalkan keyakinan itu.

Beberapa dalil antara lain :
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran ( QS Yunus : 36 )

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. ( QS An Najm : 28 )

KAIDAH KESEMBILAN

Hukum asal air tanah, langit dan batu adalah suci

Beberapa dalil antara lain :
Dan kami turunkan dari langit air yang amat bersih ( QS Al Furqon : 48 )

KAIDAH KESEPULUH

Hukum asal dalam hal perkawinan ( kemaluan ), daging hewan dan jiwa/nyawa dan harta adalah haram

Beberapa dalil antara lain :
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas ( QS Al Mukminun : 5-7)

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. ( QS An Nisa:29)

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar ( QS Al An’am :151).

Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, ( QS Al Furqan : 68 )

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu ( QS An Nisa’:29 )

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.( QS Al Baqarah : 188 )

KAIDAH KESEBELAS

Dan hukum asal dalam kebiasaan ( adat istiadat ) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal

Beberapa dalil antara lain :
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ( QS Al Baqarah : 29 )

KAIDAH KEDUABELAS

Hukum asal ibadah adalah haram [hukum asal dalam semua ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya]

Beberapa dalil antara lain :
Dan ikutilah Dia ( muhammad ) supaya kamu mendapat petunjuk. ( QS Al A’raf : 158 )

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. ( QS Al Hasr : 7).

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? ( QS As Syuura’: 21 )

KAIDAH KETIGABELAS

Semua sarana suatu perbuatan hukumnya sama dengan tujuannya ( perbuatan tersebut ) [Semua sarana untuk melakukan suatu perbuatan hukumnya sama dengan tujuan perbuatan itu maka hukumilah dengan hukum tersebut sebagai penyempurna; hukum sarana suatu pebuatan sama dengan hukum perbuatannya; perbuatan ( perkara) hukumnya mencakup semua sarana yang menyempurnakan perbuatan ( perkara ) tersebut, Sarana untuk melakukan suatu kewajiban maka hukumnya wajib, sarana yang digunakan untuk melakukan perkara sunnah maka hukumnya menjadi sunnah, dan sarana yang digunakan untuk hal yang haram maka hukumnya haram]

Sunday, August 19, 2007

Monday, August 13, 2007

Antara Taqlid dan Ittiba

ANTARA TAQLID DAN ITTIBA'


Oleh
Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah



Ittiba’ (mengikuti) kebenaran adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Alloh wajibkan setiap manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Alloh kepada Rasul-Nya. Alloh jadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi manusia di dalam kehidupannya.

Tidak ada yang membangkang kepada perintah Alloh tersebut kecuali orang-orang yang taqlid kepada nenek moyangnya atau kebiasaan yang berlaku di sekelilingnya atau hawa nafsunya yang mengajak untuk membangkang dari perintah AlIoh. Mereka tolak datangnya kebenaran karena taqlid.

Tidak ada satu pun kesesatan kecuali disebabkan taqlid kepada kebatilan yang diperindah oleh iblis sehingga tampak sebagai kebenaran. Inilah sebab kesesatan setiap kaum para rasul yang menolak dakwah para rasul. IniIah sebab kesesatan orang-orang Nashara yang taqlid kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Inilah sebab kesesatan setiap kelompok ahli bid’ah yang taqlid kepada pemikiran-pemikiran sesat dan gembong-gembong mereka.

Para pengikut kesesatan ini menggunakan segala cara untuk mempertahankan kesesatan mereka sekaligus mengajak orang-orang selain mereka kepada jalan mereka. Mereka sebarkan syubhat bahwa orang yang ittiba’ kepada manhaj para ulama adalah taqlid kepada ulama. Mereka campur adukkan antara taqlid dan ittiba’.

Jika mereka diseru untuk meninggalkan taqlid kepada pemikiran para pemimpin kesesatan mereka, mereka balik membantah, “Wahai para Salafiyyun kalian jugataqlid kepada para ulama kalian!”

Inilah jalan setiap pemilik kesesatan dari masa ke masa, mereka gabungkan antara kebatilan dengan kebenaran, mereka kaburkan garis pemisah antara keduanya.

Dengan memhon Taufiq dari Alloh pada pembahasan kali ini kami ketengahkan kepada pembaca beberapa perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ agar kita bisa memahaminya dengan benar, dan sekaligus -bi’idznillah-bisa menepis syubhat para pemilik kebatilan dalam masalah ini.

DEFINISI TAQLID
Taqlid secara bahasa adalah meletakkan “al-qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-. akan perkara tersebut diletakkan di lehernya seperti kalung. [Lisanul Arab 3/367 dan Mudzakkirah Ushul Fiqh hal.3 14]

Adapun taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993 dan l’lamul Muwaqqi’in 2/178]

Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. [Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 3 14]

CELAAN TERHADAP TAQLID
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mencela taqlid dalam Kitab-Nya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah” [AtTaubah :31]

Ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca ayat Ini maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai rabb rabb.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?” Adi Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ltulah peribadatan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami’ nya 3095 dan Baihaqidalam Sunan Kubra 10/116 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal.20]

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinyajuga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” [Az-Zukhruf : 23-24]

Al-Imam lbnu Abdil Barr rahimahullahu berkata, “Karena mereka taqlid kepada bapak-bapak mereka maka mereka tidak mau mengikuti petunjuk para Rasul” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/977]

Alloh menyifati orang-orang yang taqlid dengan firman-Nya.

“Artinya : Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-arang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun” [Al-Anfal : 22]

“Artinya : Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali” [Al-Baqarah : 166]

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Para ulama berargumen dengan ayat-ayat mi untuk membatalkan taqlid” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/978]

WAJIBNYA ITTIBA’
Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan. [I’Iamul Muwaqqi’in 2/171]

Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di antaranya firman Alloh.

“Artinya : Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, makasesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” [Ali lmran : 32]

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Hujurat : 1]

“Artinya : Hal orang-arang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepoda Allah (AlQur ‘an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisa :59].

“Artinya : Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintal Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. “Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Ali lmran :31]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya seandainya Musa hidup maka tidak boleh baginya kecuali mengikutiku” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalamMushannafnya 6/Fl 3, lbnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 9/47, Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi 2/805, Syaikh Al-Albani berkata dalam Irwa’ 6/34, “Hasan”]

Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Jika Musa Kalimullah tidak boleh ittiba’ kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana dengan yang lainnya? Hadits ini merupakan dalil yang qath‘i atas wajibnya mengesakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ittiba’, dan ini merupakan konsekuensi syahadat ‘anna Muhammadan rasulullah”, karena itulah Alloh sebutkan dalam ayat di atas (Ali lmran : 31) bahwa ittiba’ kepada Rasulullah bukan kepada yang lainnya adalah dalil kecintaan Alloh kepadanya” [Muqaddimah Bidayatus Sul fi Tafdhili Rasul hal.5-6]

Demikian juga Alloh memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:

“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [An-Nisa’: 115]

Pengertian lain dari ittiba’ adalah jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya sebagaimana diktakan oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/787.

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan: Ya Alloh jalankan kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba’ kepadaku dan jika kebenaran bersamanya maka aku ittiba’ padanya” [Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam oleh Al-’Izz bin Abdis Salam 2/I 36]

TAQLID BUKANLAH ITTIBA’
Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, “Taqlid menurut para ulama bukan ittiba, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dan makna perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/787]

Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad berkata, “Taqlid maknanya dalam syari‘at adalah merujuk kepada suatu perkataan yang tidak ada argumennya, ini adalah dilarang dalam syari’at, adapun ittiba maka adalah yang kokoh argumennya”.

Beliau juga berkata, “Setiap orang yang engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mewajibkanmu untuk mengikutinya maka engkau telah taqlid kepadanya, dan taqlid dalam agama tidak shahih. Setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk mengikuti perkataannya maka engkau ittiba’ kepadanya. Ittiba’ dalam agama dibolehkan dan taqlid dilarang” [Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kmtabnya Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993]

PARA IMAM MELARANG TAQLID DAN MEWAJIBKAN ITTIBA’
Diantara hal lain yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya dan taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:

Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku” [Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya atas Bahru Raiq 6/293 dan Sya’ rany dalam Al-Mizan 1/55]

Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesual dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ 2/32]

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ 9/107 dengan sanad yang shahih]

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi , lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”. [Diriwayatkan olehAbu Hatim dalamAdab Syafi’i hal.93 dengan sanad yang shahih]

Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah.engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya” [Masa’iI Al-Imam Ahmad oleh Abu Dawud hal.276- 277]

ITTIBA ADALAH JALAN AHLI SUNNAH DAN TAQLID ADALAH JALAN AHLI BID’AH
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy berkata, “Umat ini telah sepakat bahwa tidak wajib taat kepada seorangpun dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam …makà barangsiapa yang ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan yang lainnya seperti orang yang ta’ashub kepada seorang sahabat dan mengesampingkan yang lainnya, seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. ini jalannya ahlul ahwa” [Al-Ittiba’ cet. kedua hal. 80]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang ta’ ashub kepada seseorang, dia kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada salah seorang sahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. ini adalah jalan ahli bid’ ah dan ahwa’ yang mereka keluar dan syari’at dengan kesepakatan umat dan menurut Kitab dan Sunnah ... yang wajib kepada semua makhluk adalah ittiba’ kepada seorang yang ma’shum (yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam) yang tidak mengucap dan hawa nafsunya, yang dia ucapkan adalah wahyu yang diturunkan kepadanya” [Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal.46-47]

Carribean

caribien

Buku Tamu

my slide